Dari Toko Curah Hingga Kolaborasi Antar Lembaga: Semua Punya Cara untuk Selamatkan Bumi!

FiFest Whitespace: Pentingnya kolaborasi lembaga sosial dan sustainable fundings
Alissa Putri Cininta
August 6, 2025

Dalam sesi bertajuk “Edukasi, Dana, dan Nutrisi untuk Resiliensi”, Kitabisa.org, Bakti Barito Foundation, dan Rumah Zakat, berbagi strategi untuk menciptakan dampak sosial yang berkelanjutan.

Dari kiri ke kanan; Edo Irfandi, Direktur Kitabisa ORG, Dian A. Purbasari, direktur Bakti Barito, & Didi Sabir, CMO Rumah Zakat

Edo Irfandi, direktur Kitabisa.org, membuka diskusi dengan menekankan pentingnya transparansi dalam digital fundraising. Sistem seperti fraud detection dan whistleblowing menjadi fondasi untuk menjaga kepercayaan publik. Ia juga membagikan inisiatif Kitabisa dalam sektor kesehatan, termasuk program peningkatan gizi untuk ibu hamil dan anak melalui pemberian makanan bergizi, seperti ikan lele, yang dipelihara dengan pakan berbasis maggot kering. Program ini menggabungkan inovasi nutrisi dan solusi jangka panjang dari sisi ketahanan pangan.

Dian A. Purbasari, direktur Bakti Barito, menambahkan bahwa donasi internal saja tidak cukup. Ia mencontohkan kolaborasi sukses membangun ulang sekolah pasca-gempa bersama Kitabisa dan Happy Hearts Indonesia. Fokus mereka mencakup pendidikan iklim, circular economy, dan konservasi biodiversitas yang membutuhkan pendekatan lintas sektor.

Sementara itu, Didi Sabir, CMO Rumah Zakat, menyoroti tantangan integrasi donasi digital dan kekuatan komunitas. Salah satu inisiatif mereka adalah mengelola sedekah dari sekolah untuk program pengentasan stunting. Dengan basis kuat di pendidikan dan kesehatan, Rumah Zakat terus mengembangkan dampak dari akar rumput.

Sustainable funding adalah fondasi dari program sosial jangka panjang. Tak cukup mengandalkan satu sumber, pendekatan blended financing, menggabungkan donasi publik, CSR perusahaan, dan hibah, jadi cara agar dampak yang dihasilkan bisa bertahan dan tumbuh.

Dari kolaborasi antar lembaga, FiFest lalu membawa peserta kembali ke akar: tempat di mana perubahan dimulai dari keresahan yang datang dari lingkungan terdekat, yaitu rumah dan komunitas.

Sesi pembahasan Sustainable Domestic Environment

Hari ini, 6 Agustus 2025, menjadi pembuka rangkaian FiFest, festival tahunan yang diselenggarakan oleh Filantropi Indonesia dengan tema “Bumi & Manusia: Harmoni untuk Masa Depan.” Meskipun hari masih pagi, semangat peserta langsung terasa saat sesi diskusi pertama dimulai. Mengangkat topik zero waste, sesi ini dibawakan oleh Siska Nirmala, seorang aktivis lingkungan sekaligus pendiri Toko 0 Sampah di Bandung. Dengan pendekatan yang membumi dan inspiratif, Siska mengajak peserta untuk melihat isu sampah dari lensa perubahan individu.

Dari kiri ke kanan; Fathimmah Himmatina, CEO Magobox & Siska Nirmala, Inisiator Zero Waste Adventure

Siska membuka sesi dengan cerita yang sederhana namun membekas: saat ia mendaki Gunung Rinjani. Di tengah lanskap yang menakjubkan, ia justru menemui tumpukan sampah berserakan. “Indah, tapi kotor,” kenangnya. Pengalaman itu menjadi titik balik. Ia terdorong untuk bertindak, dan pada tahun 2020, mendirikan Toko 0 Sampah di Bandung. Bagi Siska, toko ini bukan hanya tempat belanja tanpa plastik, melainkan another mountain to hike, tantangan baru yang ingin ia taklukkan.

Toko tersebut mendorong masyarakat berbelanja dengan membawa wadah sendiri, seperti toples bekas atau botol kaca yang didonasikan teman-teman. Dalam tiga tahun pertama, toko ini belum menghasilkan keuntungan. Namun, bagi Siska, itu bukan tujuan utama. Ia menyasar para ibu rumah tangga di Bandung, dan menemukan bahwa kota ini kaya akan komunitas yang peduli.

Alih-alih menggurui, Siska lebih memilih pendekatan yang ringan dan menyenangkan. Lewat program Zero Waste Camp, ia mengajarkan prinsip cegah, pilah, olah secara langsung di alam bebas. “Perubahan dimulai dari hal kecil,” katanya. Dimulai dari rumah, dan dari diri sendiri.

Fathimmah Himmatina, CEO Magobox

Sesi dilanjutkan oleh Fathimmah Himmatina, CEO Magobox, yang menyebut usaha maggot-nya sebagai “anak ketiga” setelah dua anak kandungnya. Ia memulai budidaya maggot di rumah pada masa pandemi 2020, saat menghadapi tantangan ekonomi dan ingin melakukan sesuatu yang berdampak bagi lingkungan dan juga berkelanjutan secara finansial.

Awalnya, ia mencoba membudidayakan larva Black Soldier Fly menggunakan alat seadanya, seperti ember cat bekas. Namun, banyak kendala terjadi, maggot kabur dan menimbulkan bau tak sedap. Setelah tujuh bulan trial and error, ia menemukan sistem yang paling efektif. Dari situ, lahirlah Magobox, alat biokonversi sampah organik skala rumah tangga yang kini digunakan banyak keluarga.

Fathimmah juga membangun komunitas Lalat Baik yang kini berkembang pesat dan bahkan mulai memproduksi produk turunan seperti minyak dan tepung maggot. Namun, tantangan distribusi sempat muncul: ke mana produk ini bisa dijual?

Solusinya datang dari kolaborasi dengan pemerintah DKI Jakarta yang meluncurkan aplikasi e-Maggot, di bawah koperasi Sukaresik. Lewat aplikasi ini, peternak maggot rumahan bisa langsung menjual produk ke kecamatan terdekat tanpa harus ke Bogor atau Mojokerto. Pembayaran pun cair di hari yang sama.

Menurut Fathimmah, maggot mungkin bukan solusi untuk semua orang. Tapi aksi kecil yang bisa dilakukan dari rumah, apa pun bentuknya, layak untuk dimulai.

Sesi ditutup oleh Muhammad Nur Afif Aulia, program manager Kitabisa ORG, penggerak Aksi Jaga Bumi (Askara Nusantara), yang menekankan pentingnya aksi nyata, bukan hanya wacana. AJB menggabungkan pendekatan komunitas dengan nature-based solutions, serta insentif bagi masyarakat yang mengelola sampah secara berkelanjutan.

Muhammad Nur Afif Aulia, program manager Kitabisa ORG

Program-program AJB mencakup sayembara, talkshow, akademi, hingga budidaya maggot, semuanya dirancang untuk mendorong partisipasi aktif. Baru-baru ini, mereka juga menerbitkan antologi berjudul Aksi Jaga Bumi, ditulis oleh para Askara Ranger, anak muda dari berbagai penjuru Indonesia yang menghadapi isu lingkungan secara langsung.

Sesi Workshop Pembuatan Seed Bomb Bersama

Sesi bersama Afif tak hanya berhenti di pemaparan. Peserta juga diajak langsung beraksi melalui kegiatan pembuatan seed bomb, box sederhana yang berisi biji pohon mahoni, trembesi, jati putih, tanah liat, dan kompos. Kegiatan ini menjadi simbol konkret bahwa menjaga bumi bisa dimulai dari hal kecil dan dilakukan siapa saja. Ini merupakan inisiasi besar oleh Kitabisa untuk “Gerakan 1 Miliar Pohon”. Seluruh peserta bahkan membawa pulang seed bomb untuk ditanam sendiri di lingkungan tempat tinggal mereka, jadikan langkah awal untuk gerakan besar ini.

Kegiatan pembuatan seed bomb bersama


Gerakan Satu Miliar Pohon merupakan inisiatif dari Kitabisa yang menjadi kontribusi nyata dalam menghadapi perubahan iklim dan mendukung konservasi lingkungan. Seed Bomb – bola kecil yang membawa harapan besar untuk masa depan bumi adalah salah satu cara menyenangkan dan mudah untuk memberikan perlindungan bumi, pun jadi metode penanaman pohon yang terbukti efektif

“Kami bukan juru selamat,” tegas Afif. “Kami percaya perubahan hanya mungkin lewat kolaborasi, baik antar komunitas maupun keluarga.”

Hari masih panjang di FiFest, tetapi dari sesi pertama ini, satu hal menjadi sangat jelas: solusi lingkungan tidak harus datang dari sesuatu yang besar, tapi dari langkah-langkah kecil yang dilakukan secara konsisten. Dari gunung hingga dapur rumah, dari ember cat hingga aplikasi digital, dari individu hingga komunitas, semua bisa berkontribusi.

Follow us