Philanthropy in a BANI World: Building Resilience Beyond Charity

Sustainable fundings di era BANI: solusi ketahanan sosial
Fabio Ray Jordan
September 4, 2025

Membaca Zaman

Setiap era memiliki istilah yang lahir untuk menjelaskan tantangannya sendiri. Pada dekade 1990-an, dunia bisnis dan kebijakan publik mengadopsi kerangka VUCA—Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous—untuk memahami dinamika global pasca-Perang Dingin. Namun, istilah itu kini terasa tidak lagi memadai.

Realitas sosial pasca-pandemi, krisis iklim yang semakin nyata, ketidakpastian ekonomi, hingga disrupsi teknologi digital menuntut kerangka baru yang lebih tajam. Istilah itu adalah BANI: Brittle, Anxious, Non-linear, Incomprehensible.

BANI bukan sekadar jargon akademik. Ia adalah refleksi zaman yang kita jalani. Sistem yang tampak kokoh ternyata rapuh. Publik hidup dalam kecemasan kolektif. Perubahan sosial-ekonomi berlangsung dengan pola non-linear, sering kali tidak proporsional antara sebab dan akibat. Dan banyak fenomena global terlalu kompleks untuk benar-benar dipahami.

Bagi dunia usaha, donor besar, dan lembaga filantropi, memahami BANI menjadi kebutuhan mendesak. Sebab rapuhnya masyarakat, kecemasan publik, dan kompleksitas global tidak berhenti pada ranah sosial semata, melainkan menembus langsung ke stabilitas pasar, rantai pasok, loyalitas konsumen, hingga reputasi perusahaan.

Dunia yang Brittle, Anxious, Non-linear, dan Incomprehensible

Kerentanan sosial—atau brittleness—menjadi wajah pertama dari era ini. Pandemi COVID-19 memperlihatkan betapa cepat stabilitas bisa runtuh. Pada Maret 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin naik menjadi 27,54 juta orang atau 10,14 persen, meningkat tajam dibanding sebelum pandemi. Lapisan kelas menengah yang sebelumnya relatif aman jatuh dalam waktu singkat.

Figure 1. Jumlah Masyarakat Kategori Miskin

Di sisi lain, usaha mikro dan kecil terpukul keras. Produksi industri mikro dan kecil anjlok hingga minus 21,31 persen pada kuartal II-2020, titik terendah sejak survei BPS dimulai pada 2011. Dan dampaknya masih terasa hingga periode pemulihan. Data komparatif 2020–2023 memperlihatkan Indonesia mencatat pertumbuhan aset –1,76% dan revenue –2,50%, menunjukkan bahwa UMKM kita bukan hanya kehilangan kekuatan modal, tetapi juga daya serap pasar. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia, seperti India dan China yang mampu membukukan pertumbuhan positif pada kedua indikator tersebut, posisi Indonesia tampak lebih rentan.

Figure 2. Perubahan Revenue & Asset UMKM 2020-2023. Source : Kitabisa Research & Advisory (2025)

Bersamaan dengan itu, dunia juga dihantui rasa cemas kolektif—anxiety. Tekanan ekonomi, risiko kesehatan, ancaman perubahan iklim, dan derasnya arus informasi digital membentuk lanskap sosial yang penuh kegelisahan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat prevalensi kecemasan dan depresi global naik sekitar 25 persen pada tahun pertama pandemi. Angka ini bukan sekadar statistik medis, tetapi gambaran betapa rapuhnya psikologi massa ketika berhadapan dengan ketidakpastian yang berkepanjangan.

Di Indonesia, rasa cemas ini tampak dalam berbagai bentuk: dari panic buying di masa awal pandemi, gejolak harga beras yang memicu keresahan publik, hingga demonstrasi menentang kenaikan harga BBM yang menyebar di banyak kota. Arus informasi digital yang deras—sering kali bercampur dengan misinformasi—memperkuat siklus kegelisahan kolektif, menjadikan ruang publik rentan terhadap polarisasi dan ledakan emosi massal.

Fenomena serupa juga terlihat secara global. Di Eropa, protes anti-lockdown merebak sepanjang 2020–2021, memperlihatkan bagaimana ketakutan akan masa depan bisa berubah menjadi perlawanan politik di jalanan. Di Amerika Serikat, gelombang demonstrasi Black Lives Matter yang dipicu kasus diskriminasi rasial pada 2020 juga membesar di tengah tekanan sosial-ekonomi akibat pandemi. Dari Jakarta hingga New York, dari Paris hingga Manila, pola ini memperlihatkan satu hal: anxiety bukan hanya kondisi psikologis individual, melainkan energi sosial yang dapat meletup menjadi social unrest.

Bagi dunia usaha dan donor, kecemasan kolektif ini bukan isu pinggiran. Konsumen yang cemas lebih hati-hati dalam membelanjakan uangnya. Pekerja yang cemas lebih mudah mengalami burnout. Komunitas yang cemas lebih rentan pada konflik sosial. Di titik inilah, intervensi sosial yang presisi dan transparan menjadi penting—bukan hanya untuk membantu individu, tetapi juga untuk menenangkan gejolak kolektif yang dapat berimbas luas pada stabilitas ekonomi dan politik.

Di tengah kerentanan dan kecemasan itu, muncul sifat non-linear dari dinamika sosial. Bantuan pangan dalam jumlah besar sering kali habis dalam hitungan hari tanpa meninggalkan bekas. Sebaliknya, intervensi sederhana justru bisa membawa dampak jauh lebih luas.

Salah satu contohnya adalah program Kampung Pancasila di Surabaya. Program ini sangat sederhana: mendorong gotong-royong warga untuk saling membantu dan menghidupkan kembali tradisi solidaritas di tingkat komunitas. Namun dari inisiatif yang tampak kecil itu, lahir perubahan nyata, termasuk penurunan angka stunting di beberapa kelurahan. Dengan memperkuat rasa kebersamaan dan kepedulian sosial, intervensi berbasis komunitas ini menunjukkan bahwa solusi tidak selalu harus mahal atau kompleks untuk berdampak signifikan.

Hal serupa terlihat dari studi lapangan di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Penelitian Kitabisa.org menunjukkan bahwa stunting di sana tidak hanya terkait dengan aspek nutrisi semata, tetapi juga erat kaitannya dengan perilaku pola asuh, khususnya peran ayah. Selama ini, tanggung jawab gizi anak sering dilihat sebagai ranah ibu, padahal minimnya keterlibatan ayah dalam pola pengasuhan berkontribusi besar terhadap tingginya angka stunting. Dengan mengintervensi perilaku dan meningkatkan peran ayah dalam mendukung kesehatan anak, pendekatan yang relatif kecil dan terfokus justru menciptakan dampak kesehatan masyarakat yang lebih luas.

Data mendukung efektivitas pendekatan ini. Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) mencatat prevalensi stunting pada balita turun dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 21,6 persen di 2022, lalu turun lagi menjadi 19,8 persen pada 2024. Penurunan hampir 11 poin dalam enam tahun menggambarkan bahwa intervensi sederhana—penyuluhan gizi, penguatan peran keluarga, dan kampanye kesehatan berbasis komunitas—dapat menghasilkan dampak lintas generasi dengan biaya relatif kecil.

Semua ini diperumit oleh sifat incomprehensible dari fenomena global. Realitas hari ini bukan hanya kompleks, tetapi sering kali tetap membingungkan meski data berlimpah. Kita hidup di era banjir informasi, namun lebih banyak informasi tidak selalu berarti lebih banyak kejelasan. Sebaliknya, data yang saling bertentangan sering menciptakan kebingungan baru. Produksi beras nasional, misalnya, sempat stabil, tetapi harga melonjak tajam dan memicu keresahan publik. Model iklim saling bertolak belakang dalam memproyeksikan risiko jangka panjang. Algoritma digital mengatur perilaku konsumen tanpa bisa dijelaskan logikanya kepada publik luas.

Laporan pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2023 dari Bappenas menunjukkan hal serupa: Indonesia telah mencapai sekitar 62,5 persen target SDGs 2030—tertinggi di Asia—namun tetap menghadapi kesenjangan pembiayaan sekitar Rp 14.000 triliun dari total kebutuhan Rp 67.000 triliun hingga 2030. Angka-angka ini penting, tetapi tidak serta-merta menghadirkan arah yang jelas; justru menegaskan bahwa meski data tersedia, jalan menuju pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan tetap sulit dipahami sepenuhnya.

Inilah esensi incomprehensible: dunia di mana data dan informasi tidak menjamin kepastian, melainkan sering menghasilkan noise, blind spot, dan interpretasi yang terfragmentasi. Dalam kondisi ini, masyarakat, bisnis, dan pemerintah kerap membuat keputusan bukan berdasarkan kepastian, melainkan narasi, intuisi, atau emosi kolektif.

Implikasi bagi Dunia Usaha dan Donor

Kondisi sosial yang rapuh berarti rantai pasok bisnis juga rapuh. Jika masyarakat tidak punya bantalan daya tahan, krisis sekecil apa pun bisa merembet menjadi krisis ekonomi yang lebih luas. Kecemasan publik menciptakan konsumen yang tidak loyal dan pekerja yang rentan burnout, kondisi yang langsung menurunkan produktivitas dan memperlemah merek.

Dunia yang non-linear membuat investasi sosial sulit diprediksi. Perusahaan yang hanya mengukur dampak dari besarnya dana akan kehilangan peluang untuk menciptakan perubahan eksponensial dari intervensi kecil yang tepat. Dan ketika realitas sosial semakin incomprehensible—data melimpah tapi tidak memberi arah yang jelas—risiko bagi bisnis menjadi berlapis. Kebijakan publik bisa berubah secara mendadak, opini konsumen dapat bergeser tanpa pola, dan reputasi merek bisa terancam oleh isu yang awalnya tampak sepele.

Dalam lanskap semacam ini, strategi bisnis konvensional tidak cukup. Dunia usaha dan donor membutuhkan mekanisme yang tidak hanya menjaga kepentingan internal, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial di sekitarnya. Karena pada akhirnya, pasar, tenaga kerja, dan reputasi bisnis berakar pada ekosistem sosial yang stabil.

Di sinilah filantropi berperan. Ia bukan lagi sekadar aktivitas tambahan atau program CSR yang simbolis, melainkan instrumen strategis untuk menavigasi ketidakpastian, membangun trust, dan memperkuat daya tahan masyarakat. Dengan kata lain, filantropi adalah cara dunia usaha dan donor berinvestasi pada stabilitas jangka panjang—bukan hanya demi masyarakat, tetapi juga demi keberlanjutan bisnis mereka sendiri.

Transformasi Filantropi: Dari Charity ke Resilience Building

Era BANI menuntut filantropi yang bertransformasi secara mendasar. Model lama yang mengandalkan charity jangka pendek sudah tidak memadai. Yang dibutuhkan adalah filantropi yang bekerja di dua sisi sekaligus: di hulu dan di hilir.

Di hulu, filantropi harus memastikan ketersediaan sustainable funding. Instrumen seperti endowment fund, wakaf produktif, dan quasi-endowment mampu menjaga agar intervensi sosial tidak terhenti ketika gelombang donasi spontan mereda. Dana yang dikelola secara berkelanjutan menjadi bantalan sosial yang menjaga daya tahan masyarakat sekaligus menciptakan ketenangan bagi dunia usaha.

Di hilir, filantropi harus didorong ke arah intervensi presisi berbasis data. Tidak cukup lagi menyalurkan bantuan dalam skala besar, melainkan menempatkan intervensi pada titik-titik tumpu yang mampu menciptakan efek domino. Pemetaan sosial, riset berbasis bukti, dan monitoring berkelanjutan menjadi fondasi untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar menghasilkan dampak yang signifikan.

Tetapi di dunia yang incomprehensible, bahkan data tidak selalu memberikan kepastian. Karena itu, filantropi juga harus berfungsi sebagai navigator—penerjemah kompleksitas, penyedia kerangka makna, dan pengisi blind spot melalui inovasi sosial. Dengan kombinasi ini—pendanaan berkelanjutan di hulu, intervensi presisi di hilir, dan kapasitas untuk menavigasi ketidakpahaman—filantropi bukan lagi sekadar aktivitas moral, melainkan strategi ketahanan sosial. Dan dalam dunia BANI, ketahanan sosial adalah juga ketahanan bisnis.

Penutup: Membangun Daya Tahan Bersama

Dunia yang rapuh tidak bisa ditopang oleh donasi sesaat. Publik yang cemas tidak bisa diredakan dengan janji kosong. Dinamika non-linear menuntut kecerdikan dalam menemukan titik tumpu. Dan realitas yang incomprehensible hanya bisa dinavigasi dengan kombinasi riset, narasi, dan strategi yang matang.

Filantropi di era BANI harus bergerak dari charity ke resilience building. Ia adalah investasi jangka panjang, bukan hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi dunia usaha dan seluruh ekosistem pembangunan. Karena dalam dunia yang sering kali tidak sepenuhnya dapat dipahami, yang paling penting bukanlah kepastian, tetapi kapasitas untuk tetap tangguh meski menghadapi ketidakpastian..

Karena pada akhirnya, philanthropy in a BANI world is not about giving—it is about building resilience.

Source :
https://www.who.int/news/item/02-03-2022-covid-19-pandemic-triggers-25-increase-in-prevalence-of-anxiety-and-depression-worldwide

https://smeru.or.id/id/article-id/situasi-kemiskinan-selama-pandemi

https://data.goodstats.id/statistic/tren-stunting-pada-balita-indonesia-terus-turun-W0BiW

https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/indonesia-capai-62-5-persen-target-sdgs-2030-tertinggi-di-asia

https://sdgs.bappenas.go.id/product/sdgs-2023/

Kitabisa Research & Advisory (2025)

Follow us