Pagi itu, Ballroom Hotel Bigland Sentul kembali dipenuhi percakapan hangat dari orang-orang yang datang dengan satu semangat yang sama, yaitu memperkuat kerja sosial di Indonesia. NGO Connect yang berlangsung pada 14 sampai 16 November menjadi ruang bertemunya lembaga filantropi, komunitas, dan organisasi sosial dari berbagai daerah dan isu.
Hari kedua, 15 November, terasa seperti titik temu yang memperlihatkan bagaimana ekosistem filantropi Indonesia bukan hanya bertambah luas, tetapi juga semakin matang dalam cara bekerja, dalam kedisiplinan tata kelola, dan dalam keseriusan mengukur dampak nyata di lapangan.
Sesi pembuka menghadirkan Dirjen Kemensos Mira Riyati Kurniasih yang menegaskan bahwa berbagai tantangan sosial tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja. Kemiskinan, akses kesehatan, pendidikan, hingga layanan dasar membutuhkan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga sosial.
Beliau mengingatkan bahwa bantuan hari ini tidak cukup sekadar respons cepat, melainkan harus menjadi jalan pemberdayaan. Dengan pendekatan yang membuat keluarga penerima manfaat semakin mandiri, agenda nasional untuk menekan kemiskinan ekstrem menjadi lebih mungkin dicapai. NGO Connect menyediakan ruang untuk memastikan langkah pemerintah dan lembaga sosial bergerak selaras dan saling mempercepat dampak.
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia, Rizal Algamar, memberikan gambaran tentang pesatnya pertumbuhan anggota Filantropi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan ini menunjukkan betapa beragam isu yang ditangani lembaga sosial di Indonesia, mulai dari pemberdayaan ekonomi, kesehatan, pendidikan, hingga penanggulangan kemiskinan.
Namun bagi Rizal, pertumbuhan jumlah lembaga bukan satu-satunya indikator penting. Yang jauh lebih berharga adalah bagaimana lembaga-lembaga ini terus memperkuat kapasitas, menyelaraskan tujuan, dan mencari cara untuk membangun strategi kolaboratif yang relevan dengan arah kebijakan nasional. NGO Connect menjadi ruang aman untuk bertukar praktik, berbagi pengalaman, dan membangun pemahaman yang lebih kohesif di antara berbagai aktor perubahan.
Perspektif berikutnya datang dari Irvan Nugraha, CEO Rumah Zakat, dan Istata Luqman, Head of Government Relations Kitabisa. Keduanya menyoroti aspek yang sering tidak terlihat namun sangat menentukan perjalanan organisasi, yaitu etika, regulasi, dan pelaporan.
Irvan menegaskan bahwa kepercayaan publik adalah fondasi keberlanjutan lembaga sosial. Kepatuhan regulasi bukan semata kewajiban administratif, tetapi cara untuk menjaga kepercayaan itu. Istata membagikan perjalanan Kitabisa dalam memahami regulasi dari awal berdiri hingga kini. Ia menggambarkan bagaimana proses belajar mengenai tata kelola dapat membuat lembaga lebih kokoh dan berkelanjutan.
Keduanya menekankan bahwa kepatuhan terhadap regulasi tidak hanya berada di pundak pimpinan. Setiap anggota lembaga, dari lapisan mana pun, memiliki peran dalam menjaga integritas dan akuntabilitas.
Sesi ini menghadirkan perspektif dari Dian A. Purbasari, Executive Director Bakti Barito Foundation, Farah Sofa, Program Officer Ford Foundation, dan Saskia Tjokro, Director of Advisory ANGIN (Angel Investment Network Indonesia). Ketiganya menggambarkan bagaimana dampak sosial tidak selalu tercermin dari angka besar, melainkan sering muncul dari langkah-langkah sederhana yang dilakukan secara konsisten.
Dian bercerita tentang kebun pangan lestari di Jambi menunjukkan bagaimana intervensi kecil dapat membantu keluarga mengurangi pengeluaran mingguan. Ketika pandemi menghentikan distribusi logistik, kebun yang ditanam di pekarangan menjadi penyelamat. Di Papua, keberadaan listrik mengubah ritme hidup keluarga dan ruang belajar anak-anak. Dalam dunia kesehatan, alat medis yang tepat dapat menjadi pembeda antara risiko dan keselamatan.
Dari berbagai cerita lapangan ini, para pembicara menegaskan bahwa pengukuran dampak bukan hanya soal angka. Ini tentang membaca apakah sebuah program benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat. Suara penerima manfaat menjadi panduan paling penting dalam proses tersebut.
Prof. Rhenald Kasali, Ph.D., berbagi tentang pentingnya diferensiasi dan keberanian untuk mencoba pendekatan baru. Ia menekankan bahwa keterbatasan sering kali menjadi sumber kreativitas. Inovasi bukan selalu tentang teknologi, melainkan tentang kemampuan membaca kebutuhan dengan cara yang lebih jernih dan berani melangkah keluar dari pola lama.

Pesannya sederhana, bahwa lembaga sosial yang ingin bertahan harus berani berkembang dan melihat tantangan sebagai ruang penciptaan, bukan hambatan.
Menjelang akhir hari kedua, tim Kitabisa mempresentasikan ImpactLeap, platform yang membantu lembaga membaca performa kampanye, memahami perilaku donatur, dan mengelola akun organisasi dalam satu tempat. Sesi ini memperlihatkan bagaimana teknologi dapat memperkuat transparansi, memudahkan akuntabilitas, dan membantu organisasi mengambil keputusan berbasis data.
Dalam ekosistem filantropi yang tumbuh cepat, kemampuan mengelola data secara mandiri menjadi fondasi penting untuk keberlanjutan lembaga.
Saat sesi formal hari kedua berakhir, suasana hangat masih bertahan. Banyak peserta tetap tinggal untuk berdiskusi, bertukar pengalaman, atau merencanakan kolaborasi berikutnya. Momen-momen kecil ini memperlihatkan bahwa perubahan besar tidak hanya dibangun melalui panel, melainkan melalui hubungan antarlembaga yang lahir dari percakapan yang tulus.
Hari itu menjadi pengingat bahwa ekosistem filantropi Indonesia kuat karena keberagaman lembaga yang saling melengkapi. Sinergi, tata kelola, digitalisasi, dan pengukuran dampak menjadi empat pilar yang terasa sangat hidup.
Dan dari Sentul, satu pesan besar muncul, yaitu ketika sinergi bertemu transparansi, dampak sosial yang berkelanjutan bukan lagi sekadar harapan, melainkan arah bersama.