Blended Financing: Kolaborasi Solutif Hadapi Tantangan Sosial dan Lingkungan

Dari crowdfunding hingga wakaf, model ini memungkinkan keberlanjutan program sosial dan lingkungan dengan partisipasi publik yang lebih luas.
Edo Irfandi
April 9, 2025

Belakangan ini, saya sering diajak berdiskusi tentang kondisi pendanaan sosial di Indonesia. Memang kondisinya sedang menantang. Anggaran pemerintah yang di realokasi untuk program utama pemerintahan baru menciptakan kerumitan dalam program-program sosial dan lingkungan yang selama ini berjalan. Belum lagi, penarikan dana global seperti USAID, turut menambah kompleksitas situasi ini. Akibatnya, banyak lembaga nonprofit di Indonesia kini mengalami tekanan serius dalam menjaga kelangsungan program mereka.

Dalam situasi ini, konsep yang disebut "blended financing" muncul sebagai alternatif yang sangat relevan. Jangan khawatir dengan istilahnya yang terdengar rumit. Sederhananya, blended financing adalah model pendanaan kolaboratif, di mana sumber dana dari berbagai pihak disatukan untuk mencapai tujuan bersama. Kita bicara soal dana dari publik (crowdfunding), perusahaan (CSR), yayasan atau lembaga filantropi, hingga dana keagamaan seperti zakat dan wakaf. Semua bergabung menjadi satu kekuatan.

Apa manfaatnya?

Pertama, risiko pendanaan tidak lagi ditanggung sendirian. Bayangkan kalau hanya mengandalkan satu sumber dana, begitu dana tersebut dihentikan atau berkurang, proyek pun terhenti. Dengan blended financing, jika satu sumber berkurang, sumber lain bisa menutupi celah tersebut. Kedua, legitimasi sosial meningkat karena masyarakat ikut berdonasi secara langsung. Ketiga, inovasi meningkat karena setiap pihak membawa perspektif dan sumber daya unik mereka sendiri.

Apakah model ini berhasil? Beberapa laporan terbaru, seperti "State of Blended Finance 2024," menunjukkan hasil yang positif. Di Asia saja, sekitar 70% program berbasis komunitas yang sukses mengembangkan skala, menggabungkan dana dari publik, korporasi, dan filantropi secara bersamaan. Bahkan di Indonesia, beberapa inisiatif seperti restorasi hutan dan konservasi laut kini mulai menggunakan model blended financing agar tidak bergantung sepenuhnya pada donor internasional.

Oxygen for Indonesia. sehatnegeriku.kemkes.go.id

Sebagai contoh nyata, mari kita lihat gerakan "Oxygen for Indonesia" yang pernah dilakukan saat pandemi COVID-19 lalu. Gerakan ini berhasil mengumpulkan donasi publik, dukungan dari 60 perusahaan, dan melibatkan lebih dari 20 influencer yang aktif menyuarakan kampanye tersebut. Hasilnya mengesankan: dana sebesar USD 4,3 juta terkumpul, memungkinkan distribusi lebih dari 2.500 oksigen konsentrator dan 38 generator ke rumah sakit di seluruh Indonesia. Ini menjadi bukti bagaimana blended financing bisa efektif bahkan dalam kondisi darurat.

Contoh lain adalah proyek renovasi SDN 3 Barusari di Garut, Jawa Barat, yang rusak akibat gempa. Di proyek ini, Yayasan Bakti Barito, Yayasan Kitabisa, dan Happy Hearts Foundation bergandengan tangan dengan masyarakat lokal. Uniknya, mereka menggunakan material konstruksi tahan gempa yang terbuat dari bahan plastik daur ulang. Dana yang terkumpul lebih dari Rp1.5 miliar rupiah berhasil menyelesaikan sekolah dengan pendekatan ramah lingkungan sekaligus mengajak masyarakat sekitar terlibat langsung dalam proses pembangunan.

Platform seperti Kitabisa memainkan peran vital dalam blended financing ini.

Kenapa? Karena mereka berhasil menyederhanakan proses donasi, sehingga partisipasi publik meningkat. Setiap donasi kecil dari ribuan bahkan jutaan orang menjadi bukti nyata bahwa masyarakat peduli, yang pada akhirnya menarik perhatian perusahaan besar maupun lembaga filantropi untuk ikut bergabung.

Selain crowdfunding, Kitabisa juga mengembangkan kanal wakaf produktif. Ini menjadi sumber dana jangka panjang yang bisa mendukung berbagai proyek pendidikan, kesehatan, dan lingkungan secara berkelanjutan. Transparansi laporan dan akuntabilitas di Kitabisa menjadi jaminan bagi para donor untuk terus memberikan kepercayaan mereka.

Pada akhirnya, blended financing bukan hanya soal mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya. Ini tentang menciptakan dampak yang berkelanjutan, memperbesar jangkauan program, dan meningkatkan partisipasi publik. Data-data di atas telah menunjukkan bahwa model ini sukses, bahkan di tengah tekanan anggaran pemerintah dan penarikan dana internasional.

Jadi, ke depan, kita perlu semakin giat mendorong kolaborasi lintas sektor ini. Saat kita menghadapi tantangan besar, solusinya juga harus besar dan kolektif. Dengan semangat gotong royong dan kolaborasi yang terencana, berbagai tantangan sosial dan lingkungan di Indonesia bisa teratasi secara lebih efektif dan berkelanjutan. Mari terus memperkuat kolaborasi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Bersama, #PelukBumiSelamanya

Follow us